Soeharto di Mata Soebandrio: Dari Penyelundup, Komplotan Militer, hingga Arsitek Kudeta Merangkak.

Pada tahun 2000, Soebandrio mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia di era Presiden Soekarno menulis sebuah memoar berjudul “Kesaksianku Tentang G30S.”

 

Buku setebal 80 halaman itu bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap tuduhan berat yang menimpanya: keterlibatan dalam Gerakan 30 September (G30S). Tuduhan itu menghancurkan hidupnya.

 

Ia mendekam di penjara selama 30 tahun, menanggung stigma sebagai “pengkhianat bangsa.”

Namun, melalui memoar itu, Soebandrio membalikkan narasi. Ia melancarkan serangan tajam terhadap sosok yang kemudian berkuasa selama 32 tahun — Soeharto.

 

Dengan bahasa yang tajam dan penuh emosi, Soebandrio menggambarkan Soeharto bukan sebagai penyelamat bangsa, melainkan sebagai tokoh licik yang perlahan melakukan kudeta merangkak terhadap Soekarno.

1. Skandal Penyelundupan: Soeharto dan Liem Sioe Liong

 

 

 

Menurut Soebandrio, jauh sebelum peristiwa G30S, Soeharto sudah dikenal dengan jejak kotor di Divisi Diponegoro. Ia menjalin hubungan erat dengan pengusaha Tionghoa bernama Liem Sioe Liong. Bersama-sama, keduanya menjalankan bisnis penyelundupan barang-barang mewah dengan dalih “untuk kepentingan Kodam Diponegoro.”

 

 

Namun, belakangan terbongkar bahwa uang hasil penyelundupan itu bukan untuk kepentingan militer, melainkan untuk memperkaya diri sendiri. “Duitnya masuk ke kantong Soeharto dan Liem,” tulis Soebandrio dengan getir.

 

 

Kabar ini menggemparkan kalangan perwira. Jenderal Ahmad Yani disebut sangat murka hingga pernah menampar Soeharto karena dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat. Bahkan, Jenderal AH Nasution mengusulkan agar Soeharto dipecat dan diadili oleh Mahkamah Militer.

 

Namun, berkat perlindungan Mayjen Gatot Subroto, Soeharto justru disekolahkan ke Seskoad Bandung langkah yang kelak membuka jalan bagi karier politiknya.

Catatan serupa juga muncul dalam karya Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, dan Robert Elson dalam Suharto: A Political Biography (2001), yang sama-sama menyinggung bisnis gelap Soeharto di akhir 1950-an.

2. Trio Soeharto–Yoga–Ali: Komplotan di Tubuh Angkatan Darat

Soebandrio menuding Soeharto membangun jaringan kekuasaan rahasia di tubuh Angkatan Darat, yang ia sebut sebagai Trio Soeharto Yoga Ali. Ketiganya dikenal sebagai kelompok yang ambisius dan siap menggunakan cara apa pun demi mencapai posisi strategis.

 

Tahun 1959, Soeharto memanggil pulang Yoga Soegama dari Yugoslavia di luar wewenangnya untuk dijadikan Kepala Intelijen Kostrad. Tujuannya, menurut Soebandrio, bukan semata urusan militer, tetapi upaya licik untuk mensabotase politik Soekarno dan menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

 

Bahkan, trio ini pernah menggagalkan pengangkatan Kolonel Bambang Supeno sebagai Panglima Kodam Diponegoro. Soeharto, yang kala itu masih berpangkat Letnan Kolonel, menggelar rapat gelap bersama para perwiranya, dengan koordinasi Yoga Soegama. Dari situlah lahir komplotan yang kelak menjadi fondasi kekuatan politik Soeharto.

 

3. Kudeta 3 Juli 1946: Soeharto dan Liciknya Politik Dua Wajah

Dalam kisah lain yang diungkap Soebandrio, Soeharto juga dikaitkan dengan percobaan kudeta pertama dalam sejarah Indonesia Peristiwa 3 Juli 1946. Gerakan yang dipimpin oleh Tan Malaka dan Soedarsono itu bertujuan menggulingkan Kabinet Sjahrir.

Soeharto, yang saat itu bertugas di Surakarta, disebut ikut dalam rencana penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada 20 Juni 1946. Dua batalyon penculik berkumpul di markas Soeharto dan merancang pengambilalihan aset strategis seperti RRI dan Telkom.

 

 

Namun, ketika kudeta itu gagal, Soeharto dengan cepat berbalik arah dari pelaku menjadi “penyelamat.” Ia membocorkan rencana kudeta kepada pihak Istana, membuat dirinya tampak seolah berjasa menggagalkan makar. Tindakan itu membuat Presiden Soekarno sempat murka dan menyebutnya “opsir koppig” (perwira keras kepala) karena menolak perintah langsung untuk menangkap Soedarsono.

Sejarawan M. Yuanda Zara dalam bukunya Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia memperkuat kisah ini. Ia menggambarkan Soeharto sebagai sosok yang “menyerang tanpa pasukan” nglurug tanpa bala menggunakan tangan orang lain demi ambisi pribadi.

 

4. Soeharto dan Strategi Kudeta Merangkak

Dari serangkaian peristiwa tersebut, Soebandrio menyimpulkan bahwa kelicikan Soeharto bukanlah kebetulan. Ia pandai membaca situasi, memanipulasi keadaan, dan menampilkan diri sebagai pahlawan di tengah kekacauan yang ia ciptakan sendiri.

 

 

Memoar Kesaksianku Tentang G30S menjadi peringatan bagi generasi berikutnya untuk tidak menelan mentah-mentah versi resmi sejarah. Soebandrio mengajak pembaca untuk menelaah kembali: benarkah Soeharto adalah penyelamat bangsa, atau justru arsitek kudeta paling halus dalam sejarah Indonesia?

> “Kita harus membaca kembali sejarah dengan mata terbuka,” tulis Soebandrio, “sebab di balik wajah pahlawan, kadang tersembunyi tangan yang menyingkirkan sahabatnya sendiri.”

Sumber : berdikarionline.com

Tinggalkan Balasan