
Bayangan gelap sejarah Indonesia tahun 1965 masih menggantung di atas kepala bangsa ini. Meski lebih dari setengah abad telah berlalu, kisah kelam itu belum benar-benar terurai dengan jernih.
Selama puluhan tahun, rakyat dijejali narasi resmi: bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah penyelamat bangsa dari kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) pada dini hari 1 Oktober 1965.
Namun di balik kabut propaganda Orde Baru, tersimpan kenyataan yang jauh lebih rumit dan mengerikan.
Menurut kajian mendalam dari peneliti seperti Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder, kudeta itu bukanlah semata “reaksi spontan” tentara terhadap ancaman komunis, melainkan bagian dari perencanaan militer yang telah lama disusun.
Kudeta 1 Oktober 1965 justru menjadi panggung bagi Soeharto dan lingkaran kekuasaan Angkatan Darat untuk merebut negara secara iLegal.
Awal dari Sebuah Kudeta
Tahun 1965, Indonesia tengah terjebak dalam pusaran politik penuh intrik. Presiden Sukarno memimpin dengan ideologi Nasakom nasionalis, agama, dan komunis yang berupaya menyeimbangkan kekuatan antara militer dan PKI. Namun, keseimbangan itu rapuh.
Militer, yang mulai mendapat pelatihan dan dukungan dana dari Amerika Serikat, merasa terancam oleh pengaruh besar PKI dan simpati Sukarno terhadap sosialisme.
Amerika Serikat yang trauma dengan kegagalan memecah Indonesia lewat pemberontakan PRRI/Permesta di akhir 1950-an, kini menemukan sekutu barunya: TNI.
Washington menaruh harapan besar pada Angkatan Darat agar menjadi “negara dalam negara” dan menggulingkan Sukarno bila perlu.
Awalnya, para jenderal berencana menunggu Sukarno turun secara alami, tetapi situasi berubah cepat. Ketika sang presiden meluncurkan kampanye “Ganyang Malaysia” dan mengumumkan pembentukan “Angkatan Kelima” yakni pasukan rakyat bersenjata militer mulai panik.
Mereka takut kehilangan monopoli kekuasaan bersenjata. Maka, rencana kudeta dimajukan.
Api yang Menyala 1 Oktober 1965
Pada dini hari 1 Oktober 1965, sekelompok perwira yang menamakan diri Gerakan 30 September menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat, termasuk Jenderal Ahmad Yani. Peristiwa ini menjadi pemicu yang ditunggu-tunggu oleh Soeharto.
Dengan sigap, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad bergerak mengambil alih komando. Ia mengabaikan perintah dari Panglima tertinggi yaitu Presiden Ir Sukarno dan mengirim telegram ke seluruh panglima daerah bahwa dirinya kini mengendalikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Dalam sekejap, komando teritorial yang menjangkau sampai desa-desa tunduk padanya.
Sejumlah dokumen menunjukkan, sejak pagi 1 Oktober, Soeharto telah berperan aktif menjalankan kudeta militer. Panglima di Sumatera, Letjen Ahmad Mokoginta, bahkan segera memberlakukan darurat militer dan menyerukan agar semua pasukan “menumpas kontra-revolusi sampai ke akar-akarnya”. Dari sinilah rantai kekerasan mulai terjalin di seluruh negeri.
Lahirnya Mesin Pembunuh
Setelah kekuasaan tergenggam, militer melancarkan kampanye pemusnahan terhadap siapa pun yang dianggap “komunis”.
Rakyat sipil dilatih menjadi pasukan kejut (shock troops) dan diperintahkan untuk ikut memburu tetangga mereka sendiri.
Darah pertama tumpah di Aceh dan Sumatera pada awal Oktober 1965. Dari sana, gelombang pembunuhan menjalar ke Jawa, Bali, dan akhirnya ke seluruh pelosok negeri. Ribuan nyawa melayang setiap harinya, tanpa pengadilan, tanpa ampun.
Komando RPKAD (kini Kopassus) di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menjadi ujung tombak operasi ini. Mereka bergerak cepat, memimpin pembersihan di Jawa Tengah, lalu ke Bali. Pada akhir 1965, pembunuhan telah berubah menjadi genosida sistematis yang menewaskan ratusan ribu jiwa.
Ironisnya, saat semua ini terjadi, Soeharto seolah tampil sebagai penyelamat bangsa. Ia menuntut sumpah setia dari para komandan dan membungkam media.
Pada 5 Oktober 1965, dalam peringatan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Soeharto tampil di hadapan publik bukan lagi sebagai bawahan Sukarno melainkan kingmaker sejati Indonesia.
Puncak Konsolidasi Kekuasaan
Setelah darah berhenti mengalir, langkah Soeharto berikutnya adalah membangun legitimasi. Ia mendirikan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 6 Desember 1965 lembaga yang kelak menjadi alat kontrol politik dan keamanan utama Orde Baru.
Namun, fakta sejarah menunjukkan: pembantaian massal terbesar sudah selesai bahkan sebelum Kopkamtib berdiri. Artinya, genosida itu bukan hasil dari kekacauan spontan, melainkan operasi yang sangat terorganisir di bawah rantai komando militer.
Jejak Luka yang Tak Pernah Hilang
Kini, ketika dunia semakin terbuka dan dokumen sejarah terus diungkap, satu hal menjadi semakin jelas: militer tidak hanya “menyelamatkan” negara, tetapi merebutnya.
Soeharto dan para jenderal menggunakan tragedi 1 Oktober sebagai dalih untuk menjalankan rencana jangka panjang kudeta militer.
Ratusan ribu orang dibunuh, jutaan lainnya dikucilkan dan dicap “PKI”. Trauma itu menembus 7 (tujuh) generasi, membungkam suara korban dan keluarganya. Namun mulai luntur ketika Gen – Z sudah berdiri di zaman ini sebagai perwakilan keluarga korban maju menjadi wakil presiden.
Lebih dari 50 tahun kemudian, Indonesia masih hidup dalam bayang-bayang narasi tunggal Orde Baru.
Kini, waktunya membuka kembali lembaran itu dengan jujur bukan lagi menyebutnya G30S/PKI, tetapi dengan nama yang lebih tepat: G30S/Militer.
Sumber : Tirto.id






